Minggu, 22 Mei 2011

Bahasa Indonesia Dalam Laras Jurnalistik

Oleh: Jowel Kambey, Pemimpin Redaksi "Suara Rakaya Minahasa"
"Jangan tanyakan makna sebuah kata, tetapi tanyakan pemakaiannya (meaning is use)."
Ludwig Wittgenstein, filsuf Inggris kelahiran Wina Austria, 26 April 1889.

"Semua berubah secara konstan (panta rei)."
Heraclitus, filsuf Yunani pada akhir abad ke-6 SM.

PROFESI jurnalistik yang memiliki tugas utama menulis dan menyajikan berita, tentu sangat erat kaitannya dengan bahasa sebagai media utama. Efektivitas penyampaian berita (pesan) akan sangat ditentukan oleh kemampuan seorang wartawan dalam menyajikan berita kepada khalayak. Semakin baik penguasaan bahasa seorang wartawan, semakin besar pula kemungkinan berita itu sampai kepada khalayak dengan baik. Dalam konteks ini, wartawan berperan sebagai pengirim pesan dan khalayak sebagai penerima pesan.

Setidaknya ada lima unsur utama dalam proses penyampaian pesan, seperti dikemukakan pakar komunikasi dan sosiologi AS, Harold Dwight Lasswell, yaitu who (siapa), says what (mengatakan apa), to whom (untuk siapa), in what channel (dengan media apa), dan with what effect (dengan efek seperti apa), atau yang dikenal sebagai Paradigma Lasswell.


Terkait kehidupan modern yang penuh dinamika, wartawan menghadapi tantangan untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam berbahasa. Tanpa itu, seorang wartawan akan tertinggal dan sulit bersaing dalam proses penyajian berita. Hal ini kurang lebih senada dengan pendapat filsuf Yunani, Heraclitus bahwa semua berubah secara konstan, atau dalam bahasa Spanyolnya, panta rei. Orang Amerika dan Eropa menerjemahkan kata bijak ini sebagai everything flows atau everything is constantly changing.

Proses perubahan yang terus berlangsung sebenarnya merupakan tantangan yang amat menarik bila seorang wartawan benar-benar mencintai profesinya. Oleh karena itu, tak bisa ditawar lagi, seorang wartawan harus benar-benar mencintai dunianya, sehingga apa pun akan dilakukan agar dia bisa menjalankan profesinya secara maksimal.

Dinamika kebahasaan juga harus benar-benar dicermati, termasuk dalam pemaknaan kata, baik secara leksikal maupun gramatikal. Makna kata-kata terus berkembang, bahkan bisa melampaui arti yang pernah ditetapkan sebelumnya. Jadi pemaknaan tidak sebatas arti lema dalam kamus. Hal ini senada dengan pendapat filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein bahwa pemaknaan kata sangat bergantung pada pemakaiannya.

Penguasaan bahasa:

Para wartawan di Indonesia tentu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Walaupun pada laras bahasa jurnalistik dimungkinkan adanya kelonggaran-kelonggaran menyangkut aturan, seorang wartawan tetap dituntut menguasai bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dengan demikian, dia akan tahu pada batas mana kelonggaran itu bisa diterapkan saat menyajikan berita. Bila penguasaan bahasa Indonesia seorang wartawan lemah, hal ini akan berpengaruh pada efektivitas penyampaian berita (pesan). Apalagi bila memerhatikan perkembangan kebahasaan yang begitu pesat, sesungguhnya penguasaan bahasa itu menjadi syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi (conditio sine qua non).

Kini, sebenarnya kelonggaran penggunaan aturan bahasa Indonesia dalam laras jurnalistik, tidak seleluasa masa sebelumnya. Hal ini menyiratkan arti bahwa pers harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan (kalau bisa) benar. Dalam proses pemilihan surat kabar berbahasa Indonesia terbaik, misalnya, Pusat Bahasa Depdiknas menerapkan standar yang cukup tinggi untuk penggunaan bahasa Indonesia oleh kalangan pers. Dengan demikian, kalangan pers tidak bisa lagi menggunakan bahasa Indonesia dengan "penuh kelonggaran". Semaksimal mungkin dituntut untuk menerapkan aturan-aturan bahasa yang telah ditetapkan.

Namun dalam praktiknya, misalnya, sering dijumpai prinsip "ekonomi kata" yang berbenturan dengan aturan kebahasaan, misalnya terkait penggunaan frasa idiomatik (berpasangan) "dibandingkan dengan" atau "sesuai dengan". Prinsip ekonomi kata akan berkecenderungan memangkas kata "dengan" pada kedua frasa idiomatik itu. Namun di lain pihak, aturan bahasa menetapkan agar frasa berpasangan "dibandingkan dengan" dan "sesuai dengan" dipertahankan, dan perkecualian hanya mungkin terjadi pada judul yang lahannya sempit.

Jalan keluar yang patut diambil adalah dengan mempertahankan frasa "dibandingkan dengan" atau "sesuai dengan" pada teks berita. Sementara prinsip ekonomi kata bisa diterapkan pada tempat lain, misalnya pada kalimat “Tersangka akan dibela oleh dua orang pengacara terkenal”. Dengan mengusung semangat ekonomi kata, kalimat itu bisa dipersingkat menjadi “Tersangka akan dibela dua pengacara terkenal”. Tampak ada dua kata yang dihilangkan, yakni "oleh" dan "orang", namun arti kalimat tetap tercapai, bahkan terasa lebih efektif. Prinsipnya, ekonomi kata bisa diterapkan untuk membuang kata-kata mubazir yang tidak hanya menyita ruangan, tetapi juga membuat efektivitas kalimat terganggu. Dengan demikian, penerapan prinsip ekonomi kata tidak boleh melabrak aturan-aturan kebahasaan seperti penerapan frasa idiomatik itu. Harus ada sinergi dari kedua prinsip tersebut.

Laras bahasa jurnalistik diharapkan tetap mengindahkan aturan-aturan kebahasaan dalam porsi maksimal. Di lain pihak, bahasa jurnalistik juga harus menjadi bahasa yang akrab dan mudah dimengerti oleh khalayak.

Interaksi bahasa:

Dalam dunia jurnalistik di Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama harus dilengkapi atau diperkaya oleh bahasa daerah, bahasa Inggris, dan bahasa asing lainnya. Dalam kaitan ini, wartawan perlu benar-benar mencermati interaksi antarbahasa yang tidak pernah berhenti. Interaksi bahasa ini kadang-kadang bisa memunculkan kata-kata baru dengan arti-arti baru pula. Pengaruh iklan, film, atau media publik lainnya juga sangat besar bagi perkembangan bahasa.

Penguasaan bahasa yang baik akan memberi keleluasan bagi wartawan untuk menampilkan gaya atau variasi penyajian berita. Demikian pula dalam hal diksi (pemilihan kata) saat mengungkapkan kejadian-kejadian dramatis, terutama dalam penulisan features.

Sementara itu, penguasaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya akan menjadi kelebihan tersendiri bagi seorang wartawan. Selain sangat berguna bagi penambahan wawasan dari berbagai sumber, penguasaan bahasa asing juga akan banyak membantu wartawan dalam memahami kata serapan karena dia akan mengetahui asal usul terbentuknya kata serapan. Wartawan, misalnya, akan mengetahui mengapa muncul kata "standar" dan "standardisasi", "aktif" dan "aktivitas", dan lain-lain. Kata "standar" diserap dari standard (bahasa Inggris), sedangkan "standardisasi" diserap langsung dari standardization. Dengan demikian, tidak ada kata "standarisasi" karena pemerolehan kata tersebut tidak melalui proses pengimbuhan akhiran "isasi" pada kata dasar "standar". Demikian pula kata "aktif" diserap dari active (bahasa Inggris), sedangkan "aktivitas" diserap dari activity. Pada penyerapan kata active, aturan perubahan yang berlaku adalah suku kata terakhir "ve" pada bahasa Inggris berubah menjadi "f" pada bahasa Indonesia. Sementara pada penyerapan kata activity, aturan perubahan yang berlaku adalah suku kata terakhir "ty" berubah menjadi "tas". Huruf "v" pada kata activity tak terkena aturan perubahan. Penguasaan proses penyerapan ini sangat penting karena jumlah kata serapan dari bahasa asing sangat banyak, bahkan hampir mengimbangi jumlah kata-kata asli dari bahasa Indonesia! (
Tulisan ini disarikan dari makalah yang disampaikan pada Diklat PWI Jabar di GGM Jln. Merdeka Bandung, 28 April 2008).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar